SEARCH

Friday 16 October 2015

Dulu dan Kini

11 Oktober 2015. Menepati janji butuh usaha. Minggu lalu gagal ibadah minggu karena harus mengikuti kegiatan lain di luar kota. Sejauh ini, semangat ibadah ke GKI Peterongan adalah karena bacaan Mazmur yang dinyanyikan. Selalu ada sensasi spiritual tersendiri tiap pengalaman nyanyian Mazmur. Barangkali sensasi seperti ini yang selama ini hilang ketika kebaktian-kebaktian Kristen yang kuikuti serasa menjemukan dan membosankan. Dengan Mazmur yang dinyanyikan, ada semacam candu --ingat Marx :D, yang kerap memanggil dan menyenangkan serta dengan itu dapat segera memcampakkan khotbah-khotbah normatif yang biasanya muncrat dari atas mimbar. Hal-hal yang buruk berganti menjadi nyanyian-nyanyian yang hidup.

Katakanlah ini minggu ketiga setelah masa "pertobatan" hendak mengikuti kebaktian. Walaupun sudah bolong di minggu kedua, sama sekali kehendak "pertobatan" yang datang tiga minggu lalu tak berkurang sedikit pun. […maha besarrrr..] Sehari sebelumnya, yakni Sabtu 10 Oktober 2015, di tempat yang sama kuikuti seminar bertemakan seksualitas, gender dan teologi kekristenan konteks kekinian. Gak terasa juga seharian [mulai dari pukul 08.00-17.30 WIB) mendapat pelajaran yang mencerahkan terutama dari Pak Stephen Suleeman, Pak Yuswantori dan Ibu Khanis Suvianita serta doa luar biasa dari Pak Bro Surya Samudera Giamsjah di seminar tersebut. Baiknya memang akan ada catatan tersendiri soal kegiatan ini menurutku pribadi sebagai seorang peserta seminar yang baik hati. B-)

Nah, pembicara yang sama [pak Pdt. Stephen] kemudian didaulat menjadi pembaca firman pada minggu ketigaku ini di gereja tempatku "menumpang". Karena pengalaman seminar yang luar biasa, maka menyambut minggu ini ada semangat ekstra untuk datang ke gereja dan beribadah. Temanya ialah merangkul yang berbeda dari bacaan Kisah Para Rasul 8:26-40.

Menjadi Progresif

Aku pun mengikuti liturgi dengan duduk manis. Sesekali tengak-tengok kanan dan kiri. Antusiasme terhadap pengkhotbah menjadikanku tak terlalu peduli dengan banyak hal selain ingin mendengarkan isi khotbahnya. Tema yang memang sangat berkenaan dengan realitas hari ini tentang bagaimana merangkul yang lain, yang tertindas dan termarginalkan karena turunan sosial budaya yang tertanam di dalam masyarakat kita hari ini.

Mendengarkan dan pokoknya mendengarkan betapa progresifitas gereja mula-mula melampaui zaman bahkan hingga hari ini. Mereka menyampaikan kabar baik bagi orang-orang tak mengenal suku bangsa, status sosial bahkan merangkul dan mengakui keberadaannya. Sida-sida dalam tradisi zaman itu ialah orang yang tersisihkan dari ritual keagamaan karena orang yang dikebiri dipandang tak sempurna secara biologis dan demikian secara rohaniah pula. Pada zaman itu, mustahil seorang sida-sida diperlakukan sama oleh agama. Namun, Filipus tetap membabtis si sida-sida Ethiopia. Sebab Filipus berkata: "Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh."

Demikian jauhnya ketertinggalan gereja hari ini dibanding jemaat mula-mula. Zaman telah mendikte gereja hari ini untuk mengurung diri di dalam perbedaan kelas sosial dan turunannya dalam banyak bentuk rupa seperti perbedaan suku, agama, jabatan, jenis kelamin, budaya, negara, orientasi seksual, ideologi dan lain sebagainya. Lalu bagaimana? Cukupkah perwujudan perdamaian, keadilan dan kasih hanya dengan bernyanyi dan bernyanyi? Bukankah progresifitas gereja mula-mula pun harus diwujudkan pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita sekarang? Dengan kemajuan ilmu dan teknologi sebagai anugerah Tuhan pada kehidupan, bukankah seharusnya progresifitas gereja mula-mula justru semakin relevan pada hari ini, bukan sebaliknya. Inilah komitmen dan tugas historis gereja dalam rangka menjadi garam dan terang.

Aku jadi teringat dengan alasanku masuk kembali ke gedung tempat sekumpulan orang bernyanyi saban minggu ini: bermazmur. Ternyata minggu ini tidak ada nyanyian mazmur, entah kenapa. Demikianlah aku tetap sangat bersyukur telah melalui hari ini. Ada amen sodara?

No comments:

Post a Comment