11 Oktober 2015.
Menepati janji butuh usaha. Minggu lalu gagal ibadah minggu karena harus
mengikuti kegiatan lain di luar kota. Sejauh ini, semangat ibadah ke GKI
Peterongan adalah karena bacaan Mazmur yang dinyanyikan. Selalu ada sensasi
spiritual tersendiri tiap pengalaman nyanyian Mazmur. Barangkali sensasi
seperti ini yang selama ini hilang ketika kebaktian-kebaktian Kristen yang
kuikuti serasa menjemukan dan membosankan. Dengan Mazmur yang dinyanyikan, ada
semacam candu --ingat Marx :D, yang kerap memanggil dan menyenangkan serta
dengan itu dapat segera memcampakkan khotbah-khotbah normatif yang biasanya
muncrat dari atas mimbar. Hal-hal yang buruk berganti menjadi nyanyian-nyanyian
yang hidup.
Katakanlah ini
minggu ketiga setelah masa "pertobatan" hendak mengikuti kebaktian.
Walaupun sudah bolong di minggu kedua, sama sekali kehendak
"pertobatan" yang datang tiga minggu lalu tak berkurang sedikit pun.
[…maha besarrrr..] Sehari sebelumnya, yakni Sabtu 10 Oktober 2015, di tempat
yang sama kuikuti seminar bertemakan seksualitas, gender dan teologi
kekristenan konteks kekinian. Gak terasa juga seharian [mulai dari pukul
08.00-17.30 WIB) mendapat pelajaran yang mencerahkan terutama dari Pak Stephen
Suleeman, Pak Yuswantori dan Ibu Khanis Suvianita serta doa luar biasa dari Pak
Bro Surya Samudera Giamsjah di seminar tersebut. Baiknya memang akan ada
catatan tersendiri soal kegiatan ini menurutku pribadi sebagai seorang peserta seminar
yang baik hati. B-)
Menjadi Progresif
Aku pun mengikuti
liturgi dengan duduk manis. Sesekali tengak-tengok kanan dan kiri. Antusiasme
terhadap pengkhotbah menjadikanku tak terlalu peduli dengan banyak hal selain
ingin mendengarkan isi khotbahnya. Tema yang memang sangat berkenaan dengan
realitas hari ini tentang bagaimana merangkul yang lain, yang tertindas dan
termarginalkan karena turunan sosial budaya yang tertanam di dalam masyarakat
kita hari ini.
Mendengarkan dan
pokoknya mendengarkan betapa progresifitas gereja mula-mula melampaui zaman
bahkan hingga hari ini. Mereka menyampaikan kabar baik bagi orang-orang tak
mengenal suku bangsa, status sosial bahkan merangkul dan mengakui
keberadaannya. Sida-sida dalam tradisi zaman itu ialah orang yang tersisihkan
dari ritual keagamaan karena orang yang dikebiri dipandang tak sempurna secara
biologis dan demikian secara rohaniah pula. Pada zaman itu, mustahil seorang
sida-sida diperlakukan sama oleh agama. Namun, Filipus tetap membabtis si
sida-sida Ethiopia. Sebab Filipus berkata: "Jika tuan percaya dengan
segenap hati, boleh."
Demikian jauhnya
ketertinggalan gereja hari ini dibanding jemaat mula-mula. Zaman telah mendikte
gereja hari ini untuk mengurung diri di dalam perbedaan kelas sosial dan
turunannya dalam banyak bentuk rupa seperti perbedaan suku, agama, jabatan,
jenis kelamin, budaya, negara, orientasi seksual, ideologi dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana? Cukupkah perwujudan perdamaian, keadilan dan kasih hanya dengan
bernyanyi dan bernyanyi? Bukankah progresifitas gereja mula-mula pun harus
diwujudkan pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita sekarang? Dengan
kemajuan ilmu dan teknologi sebagai anugerah Tuhan pada kehidupan, bukankah
seharusnya progresifitas gereja mula-mula justru semakin relevan pada hari ini,
bukan sebaliknya. Inilah komitmen dan tugas historis gereja dalam rangka
menjadi garam dan terang.
Aku jadi teringat
dengan alasanku masuk kembali ke gedung tempat sekumpulan orang bernyanyi saban
minggu ini: bermazmur. Ternyata minggu ini tidak ada nyanyian mazmur, entah
kenapa. Demikianlah aku tetap sangat bersyukur telah melalui hari ini. Ada amen
sodara?
No comments:
Post a Comment