SEARCH

Friday 20 December 2013

Ucapan Selamat Natal

menjelang Natal, seperti biasa mulai marak lagi ulasan mengenai boleh tidaknya seseorang (terutama muslim) mengucapkan selamat bagi mereka yang merayakannya. tentunya beragam sudut pandang dan perbedaan pendapat adalah baik. demikian pula dengan pendapat saya kali ini. opini saya merupakan tanggapan atas pernyataan ketua pbnu KH. Said Aqil Siroj tentang ucapan natal.

Foto: Said Aqil, Ketua PBNU
"Bisa. Tapi bukan karena lahirnya anak Tuhan. Tapi mengucapkan Natal atas dilahirkannya Nabi Isa (Yesus). Bukan putera Allah,” kata Said di kantornya, Jakarta Selasa (17/12/2013).

yang menjadi pertanyaan utama adalah: siapakah yang merayakan natal? tentu semua hampir sepakat bahwa natal merupakan hari besar umat kristiani. bagi mereka, natal yang diperingati setiap tanggal 25 desember tersebut adalah hari kelahiran yesus sang penebus dan diyakini sebagai tuhan dan juru selamat. 

nah, apa sih sebenarnya maksud pengucapan selamat merayakan bagi pemeluk agama lain? menurut saya sih sederhana, maksudnya adalah sebagai bentuk penghormatan dan bentuk toleransi. dalam hal ini turut bergembira atas kegembiraan orang lain yang juga sesama kita sebagai manusia. 

dalam semangat itulah, saya mendukung apabila saudara muslim turut mengucapkan selamat natal bagi umat kristen. tetapi justru menjadi soal lain jika yang dijadikan subjek oleh said akil adalah ketuhanan yesus. ini melenceng dari makna turut bergembira atas kegembiraan orang lain, dimana jelas subjeknya adalah orang lain itu (orang kristen). 

kesannya, pak said akil hendak mencoba menjadikan ritual umat kristen tersebut ada dalam kerangka pemahaman keyakinannya. padahal dugaan saya, niat beliau adalah menghindari campur aduk antar pemahaman itu. dengan menyatakan natal adalah kelahiran nabi isa - bukan putera allah, ucapan selamat natal untuk umat kristen menjadi tidak relevan lagi. yang berlaku justru sebaliknya, umat kristenlah yang mengucapkan selamat natal untuk bapak said akil. 

pengucapan selamat merayakan hari besarnya kepada pemeluk agama tidak perlu sampai pada pengkutak-katikan makna ritualnya karena sudah jelas hal tersebut akan menimbulkan perselisihan pemahaman kedua agama. misalnya saja jika maulid nabi dirayakan oleh umat muslim, maka yang kristen tidak perlu mengkutak-katik kenabian muhammad karena subjeknya adalah umat muslim yang berbahagia yang merayakan hari besar agamanya apapun itu. dan pengucapan selamat itu adalah respon kegembiraan atas kegembiraan orang lain dalam semangat toleransi dan sikap saling menghargai antarmanusia. 

demikianlah sedekit tanggapan saya atas pengucapan natal. sekali lagi, berbeda itu indah. salam.

Monday 11 November 2013

Sumpah Pemuda 1928: Jiwa Muda yang Membaharu

(Pengantar diskusi internal GMKI Semarang, 1 November 2013)

Sumpah Pemuda 1928 merupakan lompatan besar dalam pergerakan menentang penjajahan kolonial yang menindas, menghisap dan sewenang-wenang. Kesadaran tersebut tertuang dalam ikrar keindonesiaan oleh pemuda yang pada masa itu disebut Poetoesan Kongres Pemoeda-Pemoeda Indonesia (kemudian disebut Sumpah Pemuda). Pada ikrar itulah terlihat jelas rupa nasionalisme indonesia yang pertama kalinya: bertumpah darah yang satu, tanah indonesia; berbangsa yang satu, bangsa indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa indonesia.  


Ciri pergerakan pasca Sumpah Pemuda 1928 

Para penggerak Sumpah Pemuda 1928 adalah kaum muda intelektual yang berasal dari basis priyayi dan borjuis, yang memungkinkan mereka mendapat pendidikan tinggi. Ciri pergerakan mereka yang nasionalis sekuler kian kuat apalagi pada masa itu terjadi kemunduran pada Sarekat Islam dan gagalnya kaum komunis pada masa pemberontakan PKI 1926-1927. 

Dari sana, para pemuda nasionalis sekuler berusaha merangkul seluruh lapisan gerakan perlawanan di tanah air. Gerakan kaum muda nasionalis sekuler itulah yang kemudian memimpin pergerakan nasional sampai pada cita-cita pembebasan yaitu kemerdekaan nasional bangsa Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Secara praksis, mimpi itu kemudian terwujud dalam kemerdekan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (17 tahun kemudian). 

Bagaimana Memaknainya dalam Konteks Kekinian? 

Pertanyaan ini kerap menjadi tagline dalam setiap diskusi-diskusi tema Sumpah Pemuda. Namun selain daripada nostalgia dan pajangan iklan televisi, pada kenyataannya Sumpah Pemuda telah kehilangan maknanya dalam kehidupan sosial masyarakat pada hari ini. Situasi penindasan, penghisapan terhadap yang lemah dan kesewenangan masih terjumpa akrab dalam kehidupan sosial masyarakat kita. 

Kondisi tersebut kian parah ketika negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat tidak kunjung terwujud seperti ketika nasionalisme diikrarkan pertama kali. Negara kita terperosok dalam tatanan dunia imperialisme yang baru. Jiwa kaum muda Indonesia yang dulu membaharu, kemudian digempur secara masif dengan nilai dan gaya hidup "menor" sehingga menjadi lemah di dalam walau mengkilau dari luarnya. Maka tampaklah disekitar kita kesenjangan sosial yang semakin tinggi, eksploitasi alam, korupsi yang membudaya dan lain sebagainya dalam kehidupan yang saling menindas satu sama lain. 

Hal pertama yang penting dilakukan dalam merefleksi Sumpah Pemuda ialah perenungan kembali terhadap ide dan gagasan dibalik kesejarahannya. Sebagai pemuda Kristen anggota dan kader GMKI, tentunya kita juga harus kembali pada visi kerajaan Allah juga seperti visi GMKI yaitu perwujudan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih. 

Selanjutnya, berdasarkan perenungan itu kita kembali mendefinisikan nasionalisme Sumpah Pemuda yang sejatinya sesuai konteks kekinian yang kita hadapi. Pemuda Indonesia tampil kembali sebagai ujung tombak revolusi. Pemuda itu ialah mereka yang tanggap, peduli dan intelektual. Pemuda memperbaharui masyarakat dan bangsanya dengan keberpihakan kepada yang lemah dan teraniaya sebagaimana Yesus Sang Kepala Gerakan teladankan kepada kita. Demikianlah nasionalisme dalam bingkai Indonesia yang demokratis kerakyatan memang membawa kita pada tujuan mulia pembebasan itu.