Fadli Zon. Gerimis sore sambil ngopi, ku terkenang sama beliau ini.
Nama ini bagi saya bukanlah sembarang nama. Tak tanggung, Fadli ini
adalah jebolan universitas terbaik di negeri ini. Saya mau tanya,
orangtua mana yang tidak bangga bercerita dengan tetangga dan rekan
searisan jika anaknya adalah seorang mahasiswa Universitas Indonesia?
Fadli selain mahasiswa kampus ternama, ia juga menyabet gelar mahasiswa
teladan dan berprestasi 1994 dan segudang penghargaan lainnya jari
tangan tak cukup menampung. Maka tak heran, ketika para mahasiswa yang
tak membanggakan sibuk demo dan membikin macet jalanan di masa-masa
akhir orde baru, Fadli Zon melaju kencang sampai ke gedung MPR. Ya
beliau ini adalah anggota dari Utusan Golongan dari 1997-1999. Coba
tebak, masa itu mantan mahasiswa teladan ini berpihak pada siapa?
SEARCH
Wednesday 16 December 2015
Sunday 6 December 2015
Adven Kedua: Penantian - Persiapan
6 Desember 2015. Masyarakat pada umumnya tidak begitu tertarik dengan PILKADA serentak
yang heboh akhir-akhir ini. Pilpres 2014 menjadi titik balik dari
antusiasme yang selama ini terbangun bahwa seolah akan hadir bagi
republik seorang juru selamat yang akan membawa mereka keluar dari
kemiskinan, persoalan konflik horizontal dan bentuk2 penindasan lain.
Jargon-jargon lama yang diangkat sudah ompong sejak diungkapkan oleh congor-congor pengincar kekuasaan. Mereka mengulang-ulang retorika yang sama sejak puluhan tahun yang lalu tapi tak punya gagasan selain melanjutkan dan memoles sistem yang senyata-nyatanya adalah penindasan dan penghisapan itu sendiri. Kenyataan berkata lain. Apa yang publik dapatkan dari bualan-bualan itu hanya tontonan-tontonan dramatik yang membosankan dari panggung politik yang sama, maling yang sini melawan maling yang sana. Logika penyingkiran dan terutama penyingkiran kepentingan rakyat, pengetatan anggaran public dan kesejahteraan, bagi-bagi jabatan, kompromi politik serta pemantapan roda ekomomi bagi korporasi dan monopoli. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini. Inilah tema besar yang diusung dalam momen PILKADA SERENTAK dimanapun ia didengungkan.
Memanglah perjuangan mau tak mau harus kembali ke dasarnya serta mencari bentuk-bentuk alternatif yang baru. Mencoba dan gagal lalu mencoba lagi. Inilah momen yang tak boleh dilewatkan terutama oleh lapisan termaju yang revolusioner. Semakin haus akan perubahan hingga tersadar bahwa tak ada pilihan lain selain revolusi yang meletakkan kedaulatan politik dan ekonomi kembali pada pemiliknya: rakyat pekerja. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Jargon-jargon lama yang diangkat sudah ompong sejak diungkapkan oleh congor-congor pengincar kekuasaan. Mereka mengulang-ulang retorika yang sama sejak puluhan tahun yang lalu tapi tak punya gagasan selain melanjutkan dan memoles sistem yang senyata-nyatanya adalah penindasan dan penghisapan itu sendiri. Kenyataan berkata lain. Apa yang publik dapatkan dari bualan-bualan itu hanya tontonan-tontonan dramatik yang membosankan dari panggung politik yang sama, maling yang sini melawan maling yang sana. Logika penyingkiran dan terutama penyingkiran kepentingan rakyat, pengetatan anggaran public dan kesejahteraan, bagi-bagi jabatan, kompromi politik serta pemantapan roda ekomomi bagi korporasi dan monopoli. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini. Inilah tema besar yang diusung dalam momen PILKADA SERENTAK dimanapun ia didengungkan.
Memanglah perjuangan mau tak mau harus kembali ke dasarnya serta mencari bentuk-bentuk alternatif yang baru. Mencoba dan gagal lalu mencoba lagi. Inilah momen yang tak boleh dilewatkan terutama oleh lapisan termaju yang revolusioner. Semakin haus akan perubahan hingga tersadar bahwa tak ada pilihan lain selain revolusi yang meletakkan kedaulatan politik dan ekonomi kembali pada pemiliknya: rakyat pekerja. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Subscribe to:
Posts (Atom)