SEARCH

Friday, 16 May 2014

jadilah saudara, bukan hakim sesamamu

jadilah saudara, bukan hakim sesamamu (matius 7:1-5) 

perihal menjadi hakim dan menghakimi, yesus menyatakan bahwa:

Matius 7:1 Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. (teruskan membaca ayat 1-5). 

jadilah saudara


sebab otoritas penghakiman sejatinya adalah otoritasnya tuhan: hakim agung.

Ulangan 32:35 Hak-Kulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka. 

artinya adalah bahwa perilaku subjektif penghakiman orang per orang sering menjerumuskan kita dalam kehidupan yang munafik. selumbar di mata saudara tampak, namun selumbar di mata sendiri tak terlihat. dengan demikian menolak perilaku subjektif pun berdampak logis (mau tak mau) penghargaan terhadap subjektivitas dan mewajibkan kita membangun tatanan yang berkeadilan dan demokratis untuk mewujudkannya.

Yohanes 7:24 Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.
perihal adil dan keadilan, bahwasannya allah sajalah sang maha adil adalah suatu keniscayaan, absolut. namun dalam perjalanan kehidupan bangsa israel (alkitab) adalah perjuangan mewujudkan keadilan di tengah penjajahan terhadap bangsa tersebut yang berulang kali dituliskan. hal ini bahkan masih terjadi dalam berbagai rupa, oleh pihak satu dan lainnya yang bermacam bentuk dan tempat pula.

hakimilah dengan adil (kata yesus) berarti upaya penghakiman dapat dilakukan manusia sedaya upaya secara bersama-sama (tidak subjektif) dengan suatu sistem tatanan kehidupan yang demokratis (adakah cara selain itu?).

dalam hal ini, butir visi gmki menjadi sangat relevan bahwasannya perwujudan keadilan dan demokrasi adalah tugas dan panggilan kekristenan sejak dari semula berdasarkan kasih.

dalam lingkup organisasi, bahkan perkumpulan kecil. prinsip jangan mengadili sesama namun berlaku menjadi saudara sungguh mencerminkan kasih agung yang yesus ajarkan. bukan berarti bahwa setiap kesalahan dapat diterima menjadi kebiasaan. kita dalam organisasi ini tetap dituntut untuk mewujudkan keadilan (menghakimi dengan adil) melalui sistem organisasi. usaha itu adalah belajar demokrasi yang seluas luasnya di dalam organisasi. pembenahan dan evaluasi dalam semangat kasih dan persaudaraan harus mencari ciri khas persekutuan gmki dalam menjalankan tugas dan panggilannya.

dalam banyak hal, intisari PA gmki semarang hari ini kiranya menjadi panduan bagi saya dan rekan sekalian utk membangun penatalayanan gmki hari ini dan seterusnya. pun dalam kehidupan sehari-hari, pergaulan dan bermasyarakat. lihatlah kekristenan yang dibawakan yesus bukan saja sangat mendasari kehidupan kita secara pribadi sebagai subjek yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab namun pula memiliki dampak transformasi sosial yang luas dalam kehidupan manusia.

ut omnes unum sint
dany saragih

*catatan PA GMKI Semarang 16 May 2014

Saturday, 8 February 2014

Sentuhan Baru Nasionalisme dan Oikumenisme

Semarang, GMKI - BPC GMKI Semarang mengadakan diskusi seminar mengenai Oikumenisme dan Nasionalisme pada Desember (15/12/2013) setelah dua hari sebelumnya mengadakan Masa Perkenalan Anggota GMKI Semarang. Adapun maper tersebut melantik sebanyak 12 orang anggota baru GMKI Semarang. Hadir sebagai pembicara dalam seminar adalah Bung Pdt. Rudiyanto, MTh -seorang dosen dari STT Abdiel, Ungaran. 

Dalam kesempatan tersebut, Bung Rudianto -demikian pendeta yang bersahaja tersebut kerap disapa, mengawali paparannya dengan mengutip Mazmur 122 yang merupakan nyanyian ziarah Daud mengenai doa sejahtera untuk Jerusalem. Mazmur tersebut berbicara mengenai kekeramatan sebuah kota bagi Yahudi pada masanya. Relevansinya adalah bagaimana signifikansi kota bagi situasi umat dan bangsa. Berdasarkan mazmur tersebut disimpulkan ada tiga hal yaitu keamanan (ayat 3), persatuan berdasarkan konsensus (ayat 4) dan keadilan serta supremasi hukum (ayat 5). 

Dan kemudian muncullah retorika yang mempertanyakan apakah ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan atau dapat berdiri sendiri? Dalam konteks mazmur, lanjutnya, tentulah keamanan, persatuan dan keadilan tersebut terwujud berdasarkan interpretasi “kepentingan rezim” dinasti Daud. Pertanyaan reflektif yang timbul kemudian adalah bagaimana dengan Indonesia.

Sentuhan “Baru” 

Melalui tulisannya yang berjudul Gerakan Ekumene dan Nasionalisme, ia mencoba menganalisis dan menjawab pertanyaan reflektif tersebut. Nasionalisme kaum muda terpelajar Kristen kiranya dibangun tidak lagi menggunakan sudut pandang borjuasi-penguasa yang secara historis melatarbelakangi perjalanan nasionalisme bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia harus ditempatkan pada posisinya yang sebenarnya yaitu perspektif kerakyatan yang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa pandang bulu. 

Dengan cara yang sama, gerakan oikumene dengan sentuhan Keesaan Tubuh Kristus, dipahami dalam rangka perwujudan kasih dan solidaritas yang mempertemukan semua pihak yang berkomitmen untuk mengakhiri penindasan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Kegiatan yang dihadiri setidaknya 30 peserta yang merupakan anggota GMKI Semarang tersebut berlangsung penuh antusiasme. Kemudian dilanjut dengan diskusi kebangsaan yang dibawakan oleh Ketua Bidang Politik Dalam Negeri Kesbangpol dan Linmas, Jawa Tengah yang juga senior GMKI Semarang Charles Dae Pane. 

Makalah dapat diunduh disini.

Friday, 20 December 2013

Ucapan Selamat Natal

menjelang Natal, seperti biasa mulai marak lagi ulasan mengenai boleh tidaknya seseorang (terutama muslim) mengucapkan selamat bagi mereka yang merayakannya. tentunya beragam sudut pandang dan perbedaan pendapat adalah baik. demikian pula dengan pendapat saya kali ini. opini saya merupakan tanggapan atas pernyataan ketua pbnu KH. Said Aqil Siroj tentang ucapan natal.

Foto: Said Aqil, Ketua PBNU
"Bisa. Tapi bukan karena lahirnya anak Tuhan. Tapi mengucapkan Natal atas dilahirkannya Nabi Isa (Yesus). Bukan putera Allah,” kata Said di kantornya, Jakarta Selasa (17/12/2013).

yang menjadi pertanyaan utama adalah: siapakah yang merayakan natal? tentu semua hampir sepakat bahwa natal merupakan hari besar umat kristiani. bagi mereka, natal yang diperingati setiap tanggal 25 desember tersebut adalah hari kelahiran yesus sang penebus dan diyakini sebagai tuhan dan juru selamat. 

nah, apa sih sebenarnya maksud pengucapan selamat merayakan bagi pemeluk agama lain? menurut saya sih sederhana, maksudnya adalah sebagai bentuk penghormatan dan bentuk toleransi. dalam hal ini turut bergembira atas kegembiraan orang lain yang juga sesama kita sebagai manusia. 

dalam semangat itulah, saya mendukung apabila saudara muslim turut mengucapkan selamat natal bagi umat kristen. tetapi justru menjadi soal lain jika yang dijadikan subjek oleh said akil adalah ketuhanan yesus. ini melenceng dari makna turut bergembira atas kegembiraan orang lain, dimana jelas subjeknya adalah orang lain itu (orang kristen). 

kesannya, pak said akil hendak mencoba menjadikan ritual umat kristen tersebut ada dalam kerangka pemahaman keyakinannya. padahal dugaan saya, niat beliau adalah menghindari campur aduk antar pemahaman itu. dengan menyatakan natal adalah kelahiran nabi isa - bukan putera allah, ucapan selamat natal untuk umat kristen menjadi tidak relevan lagi. yang berlaku justru sebaliknya, umat kristenlah yang mengucapkan selamat natal untuk bapak said akil. 

pengucapan selamat merayakan hari besarnya kepada pemeluk agama tidak perlu sampai pada pengkutak-katikan makna ritualnya karena sudah jelas hal tersebut akan menimbulkan perselisihan pemahaman kedua agama. misalnya saja jika maulid nabi dirayakan oleh umat muslim, maka yang kristen tidak perlu mengkutak-katik kenabian muhammad karena subjeknya adalah umat muslim yang berbahagia yang merayakan hari besar agamanya apapun itu. dan pengucapan selamat itu adalah respon kegembiraan atas kegembiraan orang lain dalam semangat toleransi dan sikap saling menghargai antarmanusia. 

demikianlah sedekit tanggapan saya atas pengucapan natal. sekali lagi, berbeda itu indah. salam.

Monday, 11 November 2013

Sumpah Pemuda 1928: Jiwa Muda yang Membaharu

(Pengantar diskusi internal GMKI Semarang, 1 November 2013)

Sumpah Pemuda 1928 merupakan lompatan besar dalam pergerakan menentang penjajahan kolonial yang menindas, menghisap dan sewenang-wenang. Kesadaran tersebut tertuang dalam ikrar keindonesiaan oleh pemuda yang pada masa itu disebut Poetoesan Kongres Pemoeda-Pemoeda Indonesia (kemudian disebut Sumpah Pemuda). Pada ikrar itulah terlihat jelas rupa nasionalisme indonesia yang pertama kalinya: bertumpah darah yang satu, tanah indonesia; berbangsa yang satu, bangsa indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa indonesia.  


Ciri pergerakan pasca Sumpah Pemuda 1928 

Para penggerak Sumpah Pemuda 1928 adalah kaum muda intelektual yang berasal dari basis priyayi dan borjuis, yang memungkinkan mereka mendapat pendidikan tinggi. Ciri pergerakan mereka yang nasionalis sekuler kian kuat apalagi pada masa itu terjadi kemunduran pada Sarekat Islam dan gagalnya kaum komunis pada masa pemberontakan PKI 1926-1927. 

Dari sana, para pemuda nasionalis sekuler berusaha merangkul seluruh lapisan gerakan perlawanan di tanah air. Gerakan kaum muda nasionalis sekuler itulah yang kemudian memimpin pergerakan nasional sampai pada cita-cita pembebasan yaitu kemerdekaan nasional bangsa Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Secara praksis, mimpi itu kemudian terwujud dalam kemerdekan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (17 tahun kemudian). 

Bagaimana Memaknainya dalam Konteks Kekinian? 

Pertanyaan ini kerap menjadi tagline dalam setiap diskusi-diskusi tema Sumpah Pemuda. Namun selain daripada nostalgia dan pajangan iklan televisi, pada kenyataannya Sumpah Pemuda telah kehilangan maknanya dalam kehidupan sosial masyarakat pada hari ini. Situasi penindasan, penghisapan terhadap yang lemah dan kesewenangan masih terjumpa akrab dalam kehidupan sosial masyarakat kita. 

Kondisi tersebut kian parah ketika negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat tidak kunjung terwujud seperti ketika nasionalisme diikrarkan pertama kali. Negara kita terperosok dalam tatanan dunia imperialisme yang baru. Jiwa kaum muda Indonesia yang dulu membaharu, kemudian digempur secara masif dengan nilai dan gaya hidup "menor" sehingga menjadi lemah di dalam walau mengkilau dari luarnya. Maka tampaklah disekitar kita kesenjangan sosial yang semakin tinggi, eksploitasi alam, korupsi yang membudaya dan lain sebagainya dalam kehidupan yang saling menindas satu sama lain. 

Hal pertama yang penting dilakukan dalam merefleksi Sumpah Pemuda ialah perenungan kembali terhadap ide dan gagasan dibalik kesejarahannya. Sebagai pemuda Kristen anggota dan kader GMKI, tentunya kita juga harus kembali pada visi kerajaan Allah juga seperti visi GMKI yaitu perwujudan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih. 

Selanjutnya, berdasarkan perenungan itu kita kembali mendefinisikan nasionalisme Sumpah Pemuda yang sejatinya sesuai konteks kekinian yang kita hadapi. Pemuda Indonesia tampil kembali sebagai ujung tombak revolusi. Pemuda itu ialah mereka yang tanggap, peduli dan intelektual. Pemuda memperbaharui masyarakat dan bangsanya dengan keberpihakan kepada yang lemah dan teraniaya sebagaimana Yesus Sang Kepala Gerakan teladankan kepada kita. Demikianlah nasionalisme dalam bingkai Indonesia yang demokratis kerakyatan memang membawa kita pada tujuan mulia pembebasan itu.