6 Desember 2015. Masyarakat pada umumnya tidak begitu tertarik dengan PILKADA serentak
yang heboh akhir-akhir ini. Pilpres 2014 menjadi titik balik dari
antusiasme yang selama ini terbangun bahwa seolah akan hadir bagi
republik seorang juru selamat yang akan membawa mereka keluar dari
kemiskinan, persoalan konflik horizontal dan bentuk2 penindasan lain.
Jargon-jargon lama yang diangkat sudah ompong sejak diungkapkan oleh
congor-congor pengincar kekuasaan. Mereka mengulang-ulang retorika yang
sama sejak puluhan tahun yang lalu tapi tak punya gagasan selain
melanjutkan dan memoles sistem yang senyata-nyatanya adalah penindasan
dan penghisapan itu sendiri. Kenyataan berkata lain. Apa yang publik
dapatkan dari bualan-bualan itu hanya tontonan-tontonan dramatik yang
membosankan dari panggung politik yang sama, maling yang sini melawan
maling yang sana. Logika penyingkiran dan terutama penyingkiran
kepentingan rakyat, pengetatan anggaran public dan kesejahteraan,
bagi-bagi jabatan, kompromi politik serta pemantapan roda ekomomi bagi
korporasi dan monopoli. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini. Inilah
tema besar yang diusung dalam momen PILKADA SERENTAK dimanapun ia
didengungkan.
Memanglah perjuangan mau tak mau harus kembali ke
dasarnya serta mencari bentuk-bentuk alternatif yang baru. Mencoba dan
gagal lalu mencoba lagi. Inilah momen yang tak boleh dilewatkan terutama
oleh lapisan termaju yang revolusioner. Semakin haus akan perubahan
hingga tersadar bahwa tak ada pilihan lain selain revolusi yang
meletakkan kedaulatan politik dan ekonomi kembali pada pemiliknya:
rakyat pekerja. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Dibeberapa
tempat perlawanan-perlawanan rakyat seperti Kendeng, Lumajang, dan
perlawanan tambang lainnya meningkat, serta Mogok Nasional hingga
Perlawanan Rakyat dan Mahasiswa Papua terhadap kekuasaan Jakarta patut
mendapatkan hormat yang setinggi-tingginya. Dan jelas pula represi
kekuasaan sebagai reaksi turut mengganggu. Cara-cara halus pengalihan
isu dan propaganda melalui media mereka miliki, bujuk rayu kekuasaan
terhadap pucuk-pucuk pimpinan perlawanan yang mbalelo, khotbah moral dan
etika, berlagak sebagai korban lawan politik (oposisi) mereka lakukan.
Cara-cara kasar tak terlewatan pula. Represi apparat yang berkolaborasi
dengan preman dan sokongan dana berkelimpahan dari pengusaha, ancaman
lewat aturan-aturan hukum, kriminalisasi, penculikan, pembunuhan hingga
rekayasa-rekayasa kerusuhan dengan sentimen kesukuan, agama, rasisme dan
nasionalisme.
Kalangan reaksioner kelas menengah yang tak
pernah mau kehilangan muka di segala kondisi tak mau ketinggalan. Teori
konspirasi bermunculan hingga terror-teror dan sentiment terhadap
perlawanan rakyat lewat sosial media, maupun serangan langsung mereka
lakukan. Agar lebih bernuansa spiritual, mereka tak sungkan tampil
sebagai wakil tuhan dan penentu mana yang baik dan mana yang tidak baik
dilakukan. Mereka tau segala bentuk penyelamatan diri mulai dari
menyingkirkan hingga membully tiada henti pihak yang berbeda dengan
mereka. Tentu ini mendapatkan contoh yang baik dari jagoan-jagoan
politik mereka di pentas politik nasional hingga internasional.
Yang terpenting ialah selangkah demi selangkah perjuangan, entah disebut
kekalahan atau kemenangan sementara haruslah dicermati sebaik-baiknya,
diambil pelajaran apa yang di dapat dari padanya. Membangun dan
bersolidaritas dengan basis basis perlawanan massa hingga terbentuk
suatu kekuatan signifikan hari demi hari. Dan benarlah bahwa perlawanan
ini belum akan selesai.
No comments:
Post a Comment